Rabu, 11 November 2009

Komersialisasi Pendidikan

Memang tidak dapat dimungkiri bahwa dari awal Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) dibuat sampai disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, banyak mengundang kritikan dan demo. Betapa tidak, kekhawatiran masyarakat akan terjadinya komersialisasi di bidang pendidikan akan menjadi kenyataan. Pendidikan khususnya pendidikan tinggi akan menjadi jatah untuk orang-orang kaya saja, sedangkan orang yang tidak mampu tidak akan sanggup mengenyam dunia pendidikan tinggi. Bahkan, orang dengan kepandaian kurang pun jika memiliki uang dapat masuk ke perguruan tinggi negeri. Fakta itu terjadi ketika beberapa perguruan tinggi negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara atau disingkat BHMN seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Sumatera Utara (USU) serta Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), sebagian besar menaikkan SPP bagi mahasiswa, yang dilanjutkan dengan pembukaan beberapa jalur khusus masuk dengan sumbangan yang besar.

Timbul pertanyaan, apakah benar, pemberlakuan UU BHP dimaksudkan untuk komersialisasi pendidikan seperti yang dikhawatirkan masyarakat dan mahasiswa selama ini. Barangkali tidak semuanya benar dan untuk menyakinkan maka perlu ditelaah latar belakang UU BHP kemudian dikaji pasal-pasal krusial yang dikhawatirkan menjadi celah untuk melakukan komersialisasi pendidikan.

Namun, sebelum menganalisis secara substantif, perlu diketengahkan dulu bahwa UU yang baik dan mampu mencapai tujuannya (efektif) maka harus memenuhi tiga syarat. Ketiga syarat tersebut, yaitu pertama, UU BHP harus memenuhi syarat filosofis. Artinya mampu menciptakan rasa keadilan bagi semua pihak. Keadilan di sini adalah keadilan yang sama (equality before the law). Kedua, UU BHP harus memenuhi syarat yuridis, artinya dibuat oleh pejabat yang berwenang membuatnya, yaitu pemerintah bersama dengan DPR. Ketiga, UU BHP harus memenuhi syarat sosiologis, artinya UU BHP betul-betul sangat dibutuhkan masyarakat. Namun, melihat fenomena banyak kritik, demo, serta banyak pihak yang mengajukan judisial review menunjukkan bahwa UU BHP tidak memenuhi syarat sosiologis. Oleh karena itu, UU BHP secara prinsip tidak akan efektif berlaku. UU BHP lebih bersifat top down daripada bottom up.

Tindak lanjut dari tidak dipenuhinya syarat sosiologis UU BHP, seperti kita ketahui bersama bahwa saat ini UU BHP mengalami uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Sebetulnya, banyak pihak yang tidak setuju UU BHP hanya diuji materiil, mereka lebih meminta agar UU BHP dibatalkan saja karena hasil dari judisial review atau uji materiil suatu UU biasanya adalah ada review atau perubahan terhadap beberapa pasal saja yang dianggap krusial, selebihnya tidak diubah.

Sebenarnya, misi utama dari UU BHP sendiri cukup baik yaitu ingin menempatkan satuan pendidikan bukan sebagai unit pelaksana teknis (UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, namun sebagai suatu unit yang otonom (mandiri). Rantai birokrasi yang selama ini terjadi diputus habis diserahkan ke dalam organ badan hukum pendidikan yang menjalankan fungsi badan hukum: penentuan kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan. Misalnya, di dalam satuan pendidikan perguruan tinggi, praktik selama ini untuk memilih seorang rektor harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen Dikti, Inspektorat Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, tim penilai akhir Sekretariat Negara, dan akhirnya presiden). Saat ini, dengan BHP, hal itu tidak lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organ representasi pemangku kepentingan.

Dua masalah utama yang krusial dan menjadi objek uji materiil yaitu masalah pendanaan pemerintah ke BHP dan pemerintah daerah ke BHPPD (Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah) untuk biaya operasional (Pasal 41 UU BHP) yang dibatasi hanya beberapa komponen anggaran seperti biaya operasional pendidikan dan kewenangan BHP melakukan investasi dalam bentuk portofolio (Pasal 42 UU BHP). Dari dua pasal itu saja dikhawatirkan celah untuk komersialisasi akan digunakan. Sebab, BHP diperkenankan mencari sumber dana dari masyarakat.

Sebenarnya, di negara-negara maju sekalipun, pemerintah tetap mendanai operasional perguruan tinggi sehingga wajarlah apabila perguruan tinggi negeri mampu memberikan kontribusi yang positif pada negara. Pengurangan anggaran pemerintah terhadap perguruan tinggi negeri yang akan dilakukan pemerintah kurang tepat karena dapat memicu kemungkinan perguruan tinggi negeri tersebut mencari cara untuk mendapatkan dana operasional. Hal itu di UU BHP diperkenankan. Ini juga menekan posisi perguruan tinggi swasta, yang akan kembali bersaing dengan perguruan tinggi negeri untuk mendapatkan mahasiswa. Meski kekhawatiran ini tidak semua beralasan karena kualitaslah yang akan menjadi penentu ke mana masyarakat akan memilih perguruan tinggi. Sebut saja beberapa perguruan tinggi swasta yang berkualitas maka sampai saat ini pun tidak terbebani dengan masalah jumlah mahasiswa karena untuk masuk ke perguruan tinggi swasta favorit cukup sulit dan alumninya mampu bersaing di dunia kerja.

Perguruan tinggi yang sudah BHP dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio. Jika para pengelola perguruan tinggi tersebut lebih menekankan pada faktor investasi dan menganaktirikan masalah kualitas pendidikan tinggi maka komersialisasi akan terjadi. Namun, jika yang diinvestasikan dalam bentuk portofolio itu adalah dana BHP yang sifatnya idle dan hasil investasinya menguntungkan dan keuntungan itu digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi BHP sendiri maka komersialisasi tidak akan terjadi.

Kekhawatiran masyarakat akan adanya komersialisasi pendidikan akan terhapus apabila perguruan tinggi tersebut mampu membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat, termasuk mahasiswa sebagai bagian dari dirinya. Dan memang benar bahwa tidak ada upaya untuk meningkatkan SPP setelah perguruan tinggi tersebut menjadi BHP, melainkan lebih mengedepankan research sehingga niatan dari beberapa perguruan tinggi menjadi world class university dan reseach university akan menjadi kenyataan dan bukan suatu keniscayaan.

Berdasarkan UU BHP, untuk menjadi BHP, perguruan tinggi diberikan waktu paling lama empat tahun sejak UU BHP berlaku. Semua perguruan tinggi baik perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta (PTS) harus berbentuk BHP. Bahkan, semua pihak yang menyelenggarakan pendidikan harus berbentuk BHP. Beberapa perguruan tinggi negeri, sebut saja Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Padjadjaran memilih menjadi Badan Layanan Umum (BLU) dahulu sebelum menjadi BHP. Batas waktu empat tahun betul-betul dimanfaatkan beberapa perguruan tinggi satuan pendidikan bukan sebagai unit pelaksana teknis (UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tetapi sebagai suatu unit yang otonom. ***

Penulis, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan pemerhati dunia pendidikan.

Oleh SUDARYAT